Rabu, 09 April 2014

Keindahan Islam keindahan akhlak

Akhlak menurut bahasa berarti tabiat dan perangai. Menurut terminologi para ulama,akhlak adalah sesuatu yang merepresentasikan keadaan atau sifat yang tertanam kuat di dalam jiwa yang memunculkan perbuatan dan perilaku dengan sangat mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu.
Menurut definisi di atas, akhlak mencakup semua sifat baik maupun buruk, namun kita dapati kebanyakan ulama akhlak menggunakan kata akhlak untuk sifat yang baik saja. Menurut mereka, akhlak adalah sifat-sifat baik yang tertanam pada jiwa dan memancarkan perilaku yang baik dalam kehidupan.
Menurut konsepsi Islam ia adalah insting dalam diri manusia yang telah diciptakan oleh Allah dan menuntunnya untuk menyukai sifat-sifat tertentu serta membenci sifat-sifat yang lain. Tidak seperti anggapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa ia adalah pengalaman yang berkembang sesuai dengan kemajuan jaman dan tingkat intelektual. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams : 7-10)
Islam telah menjadikan tolok ukur untuk menentukan baik dan buruk berkaitan dengan sistemnya yang komprehensif dan tidak bertentangan dengan fitrah yang sehat, serta tidak berlawanan dengannya.
Ia memandang bahwa akhlak merupakan komitmen hukum-hukum syariat, baik berupa perintah maupun larangan dalam semua bentuk taklif yang menghubungkan manusia dengan Khaliq-nya berkaitan dengan masalah-masalah akidah dan ibadah, selain mengaitkannya dengan sesamanya dalam aspek muamalah. Karena itu, ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab,
“Akhlak beliau adalah Al-Quran.” (HR. Muslim)
Islam telah memberi perhatian yang besar terhadap akhlak. Perhatian itu tercermin dalam beberapa hal, yang terpenting adalah:
  1. Islam menjadikannya sebagai landasan dan pilar utama untuk menegakkan sistemnya dalam kehidupan, juga sebagai tujuan tertinggi risalahnya. “Sesungguhnya aku diutus tidak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari) “Ketika ditanya, ‘Apa kebaikan itu?’ Beliau bersabda, ‘Kebaikan itu adalah akhlak yang baik.’ (HR. Muslim)
  2. Banyak ayat Al-Quran yang berhubungan dengan tema akhlak, baik berupa perintah untuk melaksanakan akhlak yang baik, pujian  untuk orang-orang yang berakhlak baik, melarang akhlak buruk , maupun celaan bagi mereka yang mempunyai akhlak buruk. Hal terpenting adalah bahwa ayat-ayat tersebut di antaranya ada yang diturunkan di Makkah sebelum hijrah dan ada pula yang diturunkan di Madinah setelah hijrah. Semua ini menunjukkan bahwa akhak merupakan masalah yang sangat penting, yang tidak boleh diabaikan oleh setiap Muslim, bahkan menjaga akhlak harus dilakukan oleh setiap Muslim dalam segala kondisi. Ia sebanding dengan akidah, dilihat dari perhatian Al-Quran terhadapnya dalam surat-surat Makkiah maupun Madaniah.
  3. Allah subhanahu wa ta’ala telah memuji Nabi-Nya dengan kebaikan akhlak ketika Ia subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam : 4).
Allah tidak pernah memuji Rasul-Nya kecuali dengan sesuatu yang agung. Ini menunjukkan tingginya kedudukan akhlak dalam Islam dan besarnya perhatian terhadapnya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menghimpun pokok-pokok kebaikan akhlak dalam satu ayat,
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raf : 199).
Ja’far bin Muhammad berkata, “Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk berakhlak mulia dan dalam Al-Quran tidak ada ayat yang lebih akomodatif menghimpun makarimal akhlak dibanding ayat ini.”
Akhlak dalam Islam terdiri di atas empat pilar yang ia tidak dapat tegak kecuali dengannya, yaitu: sabar, menjaga kehormatan diri, keberanian, dan adil. Empat pilar tersebut merupakan sumber bagi semua akhlak utama, sedangkan sumber semua akhlak buruk dan bangunannya juga didasarkan kepada empat pilar, yaitu: kebodohan, kezaliman, nafsu, dan marah.
Keempat sifat buruk tersebut tersendikan kepada dua hal, yaitu melampaui batas ketika sedang lemah dan melampaui batas ketika sedang kuat. Memperturutkan nafsu secara berlebihan dalam kelemahan akan melahirkan kehinaan, kebakhilan, kerendahan, cela, ambisi, loba, dan akhlak rendah lainnya. Sedangkan berlebihan dalam keadaan kuat akan melahirkan sifat zalim, marah, dengki, keji, dan ceroboh.
Akhlak yang tercela akan menurunkan akhlak yang tercela dan akhlak yang baik akan menurunkan akhlak yang baik pula.
Sistem moral dalam Islam berbeda dengan sistem moral lain yang dibuat manusia, antara lain karena beberapa karakteristik, yaitu: universal, detail, komprehensif, keselarasan antara cara dan tujuan, keterkaitannya dengan makna-makna iman dan takwa, dan ada balasan.
Berkenaan dengan universalitas itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.’” (QS. Al Isra’ : 53)
Mengucapkan kata-kata yang baik merupakan ajakan universal mencakup segala ucapan baik dengan segala jenisnya dalam komunikasi dan dialog mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, melarang perbuatan yang keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90)
Ayat di atas mengandung seruan umum untuk menjauhi akhlak yang tercela di samping mengajak kepada dasar-dasar akhlak yang mulia pada bagian pertama. Adapun rinciannya, Al-Qur’an dan Sunnah telah menjabarkan dan mendorong akhlak yang terpuji, di samping juga menjabarkan tentang akhlak yang tercela untuk memperingatkan supaya tidak dilakukan.
Dalam surat Al-Isra’ ayat 23-28, Al-Hujurat ayat 11-12, dan An-Nisa’ ayat 58 terdapat pesan-pesan universal yang menjelaskan dan mengungkapkan tentang akhlak bagi hamba-hamba Allah yang beriman.
Adapun cakupannya, akhlak Islam mencakup semua perilaku manusia, baik yang khusus dengan dirinya sendiri maupun yang berhubungan dengan pihak lain, berupa manusia, hewan, maupun benda mati, secara individu, kelompok, maupun negara. Hal ini menjadikannya unggul dan tidak ada bandingannya dalam syariat samawi yang terdahulu maupun aturan buatan manusia yang manapun.
Setiap Muslim wajib menunaikan hak-hak kepada dirinya sendiri, kepada kedua orangtuanya, istri, anak-anak, kerabat, tetangganya yang Muslim maupun non-Muslim termasuk ahli dzimmah dan ahlul harb, hingga hewan dan benda matipun memiliki hak atas dirinya. Tidak ada suatu apapun yang tidak tercakup dalam sistem moral Islam.
Dalam Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab fiqih terdapat banyak dalil yang menunjukkan semua itu. Silahkan anda merujuk kepadanya.
Adapun keterkaitan akhlak dengan cara dan tujuan adalah kesepakatan berdasarkan tuntutan akhlak merupakan sesuatu yang harus dilakukan dalam menetapkan tujuan dan memilih cara mencapainya. Tidak boleh mencapai tujuan-tujuan yang syar’i dengan cara yang haram. Karena itu, dalam konsepsi akhlak Islam tidak ada tempat bagi prinsip menghalalkan segala cara. Ia adalah sebuah prinsip asing dari negara-negara kafir yang masuk ke negeri kita. Perlunya keabsahan cara dan komitmen dengan nilai-nilai moral itu ditunjukkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
“Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Anfal : 72)
Ayat ini mewajibkan kepada umat Islam untuk membela saudara-saudara mereka yang terzalimi, untuk mempererat persaudaraan dalam agama. Akan tetapi jika pembelaan itu harus mengingkari janji orang-orang kafir dan orang-orang yang zalim, maka tidak boleh dilakukan karena pembelaan itu dilakukan dengan khianat dan mengingkari janji, Islam tidak rela dengan pengkhianatan dan membenci orang-orang yang berkhianat.
Adapun hubungannya dengan iman dan takwa, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Maka penuhilah perjanjian mereka sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At- Taubah: 4)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memegang janjinya dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janjinya.” (HR. Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabrani)
Adapun kaitannya dengan balasan, hal ini karena Islam mendatangkkan akhlak dalam bentuk perintah dan larangan. Yang menjalankan perintah akan mendapatkan pahala dan yang melanggar larangannya akan mendapat siksa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. Al-Humazah: 1)
Balasan yang terkadang terjadi di dunia berupa hukuman hakim, seperti hukum-hukum hadd dan ta’zir. Terkadang hukuman itu menimpa jamaah, sebagaima firman-Nya,
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.” (QS. Al-Anfal: 25)